Guru berperan penting dalam membentuk karakter anak bangsa. Hal tersebut tidak berlebihan karena guru tidak hanya mengajar dan mentransfer ilmu kepada peserta didik tapi mendidik. Mendidik merupakan tugas yang sangat luas dan komplek, tidak hanya sekedar mengajarkan kompetensi dasar yang tercantum dalam kurikulum tetapi juga memberikan contoh dan teladan yang akan menjadi patokan bersikap dan bertindak peserta didik dalam kehidupan dan interaksi sosial.
Menurut Siti Asdiqoh (2013:19) jabatan guru mempunyai banyak tugas dalam bidang profesi yang meliputi 3 hal , yaitu mendidik, mengajar, dan melatih.
-Sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik.
-Sebagai pengajar, berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik.
-Sebagai pelatih, berarti mengembangkan keterampilan dan menerapkannya dalam kehidupan.
Lalu bagaimana dengan guru Bahasa Indonesia?
Selama ini masih ada yang menganggap guru Bahasa Indonesia adalah guru yang kurang urgen dalam era teknologi karena hanya mengajarkan anak untuk berbahasa. Dalam kemiskinan pemikiran mereka berpendapat bahwa untuk apa mengajarkan anak didik berbahasa Indonesia, toh mereka sudah bisa menggunakan Bahasa Indonesia sebagai sarana komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi pembelajaran sastra, masih ada pandangan betapa tidak pentingnya mengajarkan puisi, cerpen, novel, atau pantun. Bahkan yang lebih miris lagi, sastra yang dipandang tidak penting dalam menjawab tantangan zaman.
Paradigma negatif ini harus diubah. Pembelajaran sastra merupakan hal yang sangat penting dalam membentuk karakter anak bangsa karena mengajarkan banyak hal. Mulai dari pendidikan religius, moral, dan sosial, serta sikap fundamental lainnya yang nantinya akan memiliki fungsi yang mahadasyat dalam membentuk generasi yang berkarakter.
Rosenblatt (dalam Gani 1987:13) menegaskan bahwa pengajaran sastra melibatkan peneguhan kesadaran tentang sikap etika. Ketika berbicara tentang karya sastra (puisi, prosa fiksi, dan drama), maka kita akan berhadapan dengan dengan masalah etik dan bersentuhan langsung dengan konteks kehidupan sosial. Dengan kata lain, memahami sastra berarti memahami kehidupan karena sastra merupakan karya yang menceritakan tentang kehidupan.
Rizanur Gani ( 1988:50) menjelaskan bahwa tujuan pembelajaran sastra adalah sebagai berikut:
Memfokuskan peserta didik pada pemilikan gagasan-gagasan dan perhatian yang lebih besar terhadap masalah kemanusiaan dalam bentuk ekpresi yang mencerminkan prilaku kemanusiaan.
-Membawa peserta didik pada kesadaran dan peneguhan sikap yang lebih terbuka terhadap moral, keyakinan, nilai-nilai, pemilikan perasaan bersalah dalam pribadi peserta didik.
-Mengajak siswa mempertanyakan isu yang berkaitan dengan prilaku personal.
-Memberikan kesempatan pada siswa untuk memperjelas dan memperdalam pengertiannya tentang keyakinan, peran, dan prilaku kemanusiaan.
-Membantu peserta didik lebih mengenal dirinya yang memungkinkan bersikap lebih arif terhadap dirinya dan orang lain secara lebih cerdas,penuh pertimbangan dan kehangatan yang penuh simpati.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas bisa dilihat betapa pentingnya pembelajaran sastra dalam membentuk pribadi peserta didik. Pengajaran sastra membawa peserta didik lebih produktif dan apresiatif.
Menurut Atar Semi (1988:8) sastra adalah suatu bentuk dan pekerjaan seni yang objeknya tentang manusia dan kehidupannya yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Manfaat sastra sebagai media mengekspesikan gagasan ini tidak bisa diremehkan dan dianggap tak bermakna.
Melalui karya sastra seperti puisi, seseorang bisa mengungkapkan berjuta pemikiran, gagasan, dan perasaan. Coba kita perhatikan, Chairil Anwar, seorang penyair besar Indonesia. Dalam larik puisi Doa” Tuhanku/dalam termangu/aku masih menyebut nama-Mu//biar susah sungguh/mengingat Kau penuh seluruh//caya-Mu panas suci/tinggal kerlip lilin di kelam sunyi//Tuhan-Ku/aku hilang bentuk/remuk/aku mengembara di negeri asing//Tuhan-Ku/di pintu-Mu ku mengetuk/aku tak bisa berpaling/
Puisi tersebut melambangkan kekuatan religius yang dimiliki Chairil Anwar.
Sementara itu, kita sebagai pembaca akan mengapresiasi puisi tersebut sesuai dengan pengalaman batin kita. Melalui puisi ini disampaikan amanat bahwa dalam berbagai problematika dan realitas pahit yang menghadang, Tuhanlah tempat kita mengadu karena Dia selalu ada untuk hamba-Nya. Artinya, lewat puisi Doa telah diajarkan nilai religius kepada peserta didik untuk lebih taat dan menanamkan nilai religius dalam kehidupan mereka sebagai generasi penerus bangsa.
Lalu, masihkah pembelajaran sastra dianggap kurang berperan dalam menunjang kemajuan zaman? Melihat fenomena yang terjadi di kehidupan bernegara sekarang ini, kita berani mengatakan bahwa pembelajaran sastra telah menduduki level sejajar dengan bidang ilmu lain, seperti teknologi dan informasi. Kemajuan teknolgi informasi dan pembelajaran sastra merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Pada satu sisi teknologi dan informasi harus dikembangkan agar bangsa ini tidak tertinggal dari bangsa lain.
Sementara itu, sastra juga tidak bisa diabaikan begitu saja. Hal itu disebabkan karena sastra adalah salah satu media pembentuk karakter personal generasi muda yang nantinya akan menjadi motor penggerak kemajuan bangsa.
Oleh karena itu, peran seorang guru Bahasa dan Sastra Indonesia tidak seharusnya lagi dipandang sebelah mata karena mereka juga mempunyai peran yang krusial dalam kemajuan bangsa ini. Kreativitas merekalah yang dituntut agar pembelajaran sastra lebih diminati peserta didik sehingga mampu membawa manfaat positif secara maksimal.
Pengembangan metode, teknik, dan media pembelajaran yang variatif dan komprehensif serta terpadu diharapkan mampu melahirkan generasi muda bangsa yang lebih berkarakter dan mempunyai nurani sejati. Karena kreativitas guru jugalah maka pembelajaran sastra menjadi lebih bermakna dan tidak menganggap pelajaran ini kurang penting dibandingkan pelajaran lainnya.
Para guru bisa bersama-sama dengan peserta didik untuk melakukan kegiatan bersastra karena minat itu akan tumbuh dan berkembang dalam sebuah proses. Di samping itu, guru harus mampu menjadi motivator dan fasilitator sehingga dapat menuntun siswa dalam pembelajaran untuk memperoleh pengalaman bersastra.
Perhatian dari berbagai pihak juga diharapkan akan menumbuhkan minat terhadap pembelajaran sastra. Sekolah sebagai institusi pendidikan seharusnya lebih memberikan perhatian dalam menyediakan buku-buku sastra serta prasarana yang mendukung seperti kaset, televisi, dan labor bahasa.
Dengan adanya berbagai fasilitas yang tersedia diharapkan akan membangkitkan semangat mencintai sastra dan mencintai bangsa agar terbentuk anak bangsa yang memiliki kepekaan terhadap masyakat akar rumput, cerdas membaca realitas, serta berpegang teguh pada agama sebagai pondasi dasar pembentukan karakter.
Penulis: Muliati, S.Pd M.Pd
Pascasarjana Universitas Muhamadiyah Sumbar