Founding father demokrasi dunia Abraham Lincoln (1805-1965) pernah berkata “Democracy is a government of the people, by the people, and for the people.”

Kekuatan rakyat atau biasa disebut masyarakat sipil dalam menegakkan demokrasi sebagai pilihan terbaik saat ini adalah salah satu kemajuan dalam suatu negara yang berdaulat.

Di negara-negara maju “people” yang berarti rakyat berperan dalam mengawasi, menjalankan dan mengatur kekuasaan termasuk di dalamnya peran pers dan media.

Perkembangan Media dan sistem informasi dewasa ini sangat cepat mengerus sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti kita ketahui bahwa salah satu pilar demokrasi dunia itu selain legislatif, eksekutif, yudikatif yakni pers. Politik sangat bergantung dengan pers, begitupun sebaliknya.

Oleh karena itu, pers memegang peranan penting dalam sehatnya demokrasi di suatu negara. Begitupun di Indonesia, prinsip etis pers sebenarnya di atur dengan UU no 40 tahun 1999, telah membuka era reformasi di negeri ini. Presiden BJ. Habibie berjasa dalam membuka kran demokrasi yang sehat dengan kebebasan pers pasca runtuhnya orde baru.

Oleh karena itu, kita sebagai anak bangsa seyogyanya mampu mengambil peran positif dalam menyampaikan berita, gagasan, dan kritikan demi sehatnya demokrasi di tanah air.Dengan perkembangan media sosial satu dasawarsa ini membuat tantangan sendiri dalam menangani hatspect, hoax dan ujaran kebencian yang puncaknya pemilu 2019 menjadikan rakyat Indonesia terpecah menjadi dua bagian.

Melihat media sebagai alat perang, opini dan pikiran manusia sesuai theory yang pernah pernah dijalankan Marthen luther (Reformis Jerman), bertemu dengan mesin cetak beliau mampu mempengaruhi pikiran masyarakat dalam suatu negara. Jika perang pikiran ini terus diarahkan ke hal-hal negatif, akibatnya keharmonisan yang telah dibangun oleh pendiri bangsa terganggu oleh isu-isu sara dan hal-hal yang menghambat pembangunan.

Perpecahan yang terjadi di media sosial akan mengendus sendi-sendi kehidupan lainnya, seperti ekonomi, politik, agama dan kebudayaan bahkan kestabilan negara kita juga akan terganggu.

Apalagi dengan diberkukan UU ITE tahun 2008 akhir-akhir ini yang membuat masyarakat mesti cerdas dalam menerima informasi dan berita juga dalam hal menyebarluaskannya.

Beberapa materi yang diatur, antara lain: 1. pengakuan informasi/dokumen elektronik sebagai alat bukti hukum yang sah (Pasal 5 & Pasal 6 UU ITE); 2. tanda tangan elektronik (Pasal 11 & Pasal 12 UU ITE); 3. penyelenggaraan sertifikasi elektronik (certification authority, Pasal 13 & Pasal 14 UU ITE); dan 4. penyelenggaraan sistem elektronik (Pasal 15 & Pasal 16 UU ITE).

Sebagai anak bangsa kita mestinya mampu mengambil peran dalam bidang masing-masing agar demokrasi di negeri ini sehat. Cerminan pemilu ke depan sangat dipengaruhi oleh pers, media elektronik, bahkan media sosial.

Begitupun dalam hal ini penyelenggara pemilu, KPU dan Bawaslu seyogyanya bisa menjalankan tupoksi salah satunya mencerdaskan masyarakat dalam kesadaran pemilu bahkan dalam hal edukasi penyebaran berita.

Dengan menggandeng milineal, influenzer, atau penggiat sosial media lainnya guna mengantisipasi perkembangan berita dan pikiran negatif terhadap penyelenggaraan pemilu yang jurdil. Ke depan kita harus mampu melihat landscape pemilu 2024 yg berbeda, hal yg terpenting yakni KPU dan bawaslu harus kreatif dalam mengolah berita dan aktif mengedukasi masyarakat yang terbelah.

Berita negatif tentang pemilu mampu ditepis selama tidak bertentangan dgn konstitusi. Sehingga trust (kepercayaan) khusus terhadap penyelenggara pemilu diharapkan terpenuhi.

Hal-hal di atas merupakan harapan kita semua sebagai anak bangsa. Baik itu yang bekerja dalam sistem kepemiluan maupun masyarakat terdidik dalam ‘mengempanyekan’ pemilu yang jurdil, sehat dan bermartabat demi keutuhan bangsa dan negara.

Penulis: Falens Ramadhan, Aktivis, Kahmi dan pengurus NU kota Pariaman

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *