Di Pariaman, sanak keturunan Sultan Maharajo Dewa ini menyandang dan menggunakan gelar adat “Maharajo Nando”, yang ganti berganti turun temurun menjalankan kekuasaan sebagai “rajo” di Sakarek Hulu (berpusat di Mangguang).

Pada tahun 1050 H (1640 M) dikeluarkanlah sebuah “Sunnah”, sebagai sebuah keputusan hasil mufakat pada masa Kerajaan Bungo Satangkai (sebelum berdirinya Nagari Pagaruyung), yang berisi pengukuhan dan penempatan kembali raja-raja Rantau, Darat dan Laut dalam semua kawasan wilayah Minangkabau. Sunnah ini dikenal juga sebagai Tambo Sultan Nan Salapan. Mayoritas para pakar adat dan sejarah Minangkabau berpendapat bahwa nama nama nama tujuh orang Sultan yang tersebut dalam Tambo Sultan Nan Salapan adalah nama samaran, bukan nama yang sebenarnya.

Yang Dipertuan Daulat Tuanku Maharaja Sakti (Raja Nan Sati)  kembali memperbaharui dan mengukuhkan Sultan Nan Salapan tersebut untuk menjadi raja di rantau-rantau yang ditata kembali, dalam upaya membangkitkan kejayaan Pulau Emas Suwarnabhumi. Almarhum Emral Jamal Datuak Rajo Mudo, Tuanku Bayang, berpendapat bahwa Daulat Yang Dipertuan  Raja Nan Sati atau Daulat Yang Dipertuan Sultan Sri Maharaja Nan Sakti, merupakan cikal bakal yang menurunkan raja-raja di Sungai Salak-Linggi pada periode berikutnya di Pariaman, Indrapura, dan Sungai Pagu. 


Menurut Tambo Sultan Nan Salapan, raja yang dikirim untuk menjadi raja ke negeri Pariaman adalah Sultan Maharajo Dewa. Ia merupakan yang mula-mula (kembali) jadi raja di negeri Pariaman, kemudian melimpah ke Tiku, Natal, dan Ulakan. 

Ketika dilepas untuk menjadi raja di Sungai Salak (Tiku Pariaman), Sultan Maharajo Dewa mula-mula manapek di Batu Mengaum (wilayah XII Koto Basi Garinggiang), yang hari ini dikenal dengan nama Sungai Garinggiang, Padang Pariaman. Prof. Mestika Zed juga membenarkan bahwa Batu Mengaum pada dahulu kala merupakan tempat kedudukan Sultan Maharajo Dewa, yang berdaulat di Rantau pesisir antara Tiku sampai ke Natal.


Salah seorang anak dari Sultan Maharajo Dewa ini adalah Sultan Linang Nan Bagampo (Yang Dipertuan Mudo Maharajo Dewa), yang kemudian bersama anak dan istrinya serta beberapa orang pengikutnya berhijrah ke daerah yang hari ini dikenal sebagai Nagari Pelangai, Balai Selasa (Pesisir Selatan). Sampai hari anak cucu dan keturunannya memiliki gelar adat Sultan Pariaman Maharajo Dewa / Maharajo Alif Yang Dipertuan Mudo (Tan Pariaman).

Di Pariaman, sanak keturunan Sultan Maharajo Dewa ini menyandang dan menggunakan gelar adat “Maharajo Nando”, yang ganti berganti turun temurun menjalankan kekuasaan sebagai “rajo” di Sakarek Hulu (berpusat di Mangguang). Beberapa catatan tertulis tentang “Maharajo Nando” di Pariaman Sabatang Panjang adalah:

1. Pada tahun 1671 M di Pariaman, Rangkayo Maharajo Nando menjadi pucuk pemerintahan Kampung di Hulu / Sakarek Hulu, yang dibantu oleh 5 orang Penghulu. Sementara itu, Kampung di Hilir / Sakarek Hilia (Kampung Aceh) diperintah oleh Rangkayo Sidi Amar Bangso Dirajo, dengan 5 orang penghulu.


2. Tuanku Maharajo Nando menjadi Rajo di Sakarek Hulu (berpusat di Mangguang), wafat tahun 1814 M. Ia Mamak dari Marah Ganti alias Tuanku Nan Caredek, Pejuang penentang Belanda yang gigih dari Naras.

3. Syarif Amal Tuanku Maharajo Nando, Regen Pariaman (setingkat bupati) yang berkuasa selama 18 tahun. Ia dikenal juga dengan nama Tuanku Mangguang Randah. Orang Belanda menyebut namanya dengan Tuanku Seriaman. Pada tanggal 2 Oktober 1840 M, Ia diberi kehormatan untuk berkunjung ke atas kapal perang Belanda “Fergat de Ruppel,” yang sedang bersandar di Pelabuhan Pariaman. Ia wafat 25 Desember 1868 M, dalam umur kurang lebih 80 tahun. Ia merupakan suami keempat dari Puti Reno Gampo, yang merupakan anak kakak Peto Rajo (ayah Muhammad Saleh Datuak Rangkayo Basa / Mek Saleh). Kakek Puti Reno Gampo adalah Raja Yang Dipertuan (Daulat) Batu Mengaum, XII Koto Basi Garinggiang.

4. Reno Ajih (Aziz ?) Maharajo Nando, ayah dari Mak Inah (Kakek dari Banoeidah, Istri pertama Muhammad Saleh Datuak Rangkayo Basa / Mek Saleh), Saudagar di Pariaman yang gilang gemilang di abad ke-19.


Penulis: Sidi Sadri Chaniago
Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas

By Redaksi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *